Tuesday, October 27, 2009

Kenalilah Piringmu Saat Makan Bersama


Kemarin aku ada syukuran makan2 bersama beberapa dosen dan teman kuliah.
Kebetulan waktu itu banyak makanan yang kami pesan sehingga MASING-MASING di depan kami ada piring utama, garpu sendok pribadi, gelas minum, dessert, mangkuk sup, sendok sup, panci sup (lengkap dengan api parafinnya yang kami coba matikan saat sup udah habis tapi ga pernah berhasil karena gak tau caranya), dan tentu saja ada berpiring-piring alat hidang tempat lauk lengkap dengan garpu dan sendok hidangnya--nah bingung kan banyak banget.. (apa aku nyeritainnya aja ya yg mbingungin, hehe).

Nah waktu itu aku makan hidangan pertama dengan mangkuk sup kecilku.menu (pertama) yang kumakan adalah soto ayam karena berada tepat di depanku. Selesai memakan, teman2 yang lain sudah pada bersama2 mulai makan hidangan utama, termasuk dosenku yang duduk di kursi di sebelahku. Karena kufikir aku males ikut2an rame2 ambil makan, jadi aku ambil makanan pembuka lagi karena tentu saja sudah tidak banyak dilirik orang: sup buntut.

dan tepat selesai aku menuangkan sup buntut ke dalam mangkuk sup kecil yang (kufikir) milikku, pak dosenku berkata:
"Mangkuk sup saya di mana ya?"
dan saat itu dengan tiba-tiba kulihat mangkuk sup kosong sisa soto persis di samping piring makanku--dan mendadak aku yakin itu mangkuk sup ku yang sebenarnya.
dan dengan (berlagak)tenang kukatakan pada beliau:
"ini Pak, mangkuk sup bapak, memang saya ambilkan sup buntut lagi....."

bapak itu tertawa mengerti. dan dengan diiringi orang-orang di sebelah kami yang ternyata ikut cengar- cengir, aku mengambil soto dengan mangkuk sup ku yang sebenarnya.

untunglah waktu itu celetukan yang kudengar adalah "wah pinter tenan nge-les nya.."
(padahal dalam hati aku tak berhenti-hentinya bergumam "berani-beraninya.....")

ps: foto di atas adalah foto makan2ku yang lain, pas kejadian ini malah gak sempat ambil fotonya (ya iyalah!)

Thursday, October 22, 2009

Salam dari Metrojaya!

Mungkin aku akan menceritakan beberapa hal yang terjadi akhir-akhir ini dalam poin-poin saja.


I. Perencana VS Jalani Aja


Akhir-akhir ini aku banyak bertemu dan lumayan bercakap dengan beberapa orang baru yang senasib untuk menjemput masa depan (haha, ya, baca: melamar pekerjaan). dari situ, setidaknya aku akan menggolongkan ada dua golongan pencari kerja : 1. tipe orang perencana, 2. tipe orang jalani aja. waktu itu aku sedang mengikuti seleksi di sebuah Tempat-Dimana-Orang2-Bertanya-Apakah-Aku-Yakin-Akan-Berkarir-Di-Sana, singkatnya sebut saja nama tempat itu TDOBAAYABDS (kok dilafalkan kayak tobyat yo? hehe). dan inilah pertanyaan standarnya: "yakin win?" , dan kujawab dengan lebih standar : "ya kan masih apply, coba-coba aja..". Orang yang sudah mengenalku pasti akan langsung tahu kalau itu bukan jawaban yang sebenarnya. Aku harus mengakui bahwa diriku adalah tipe perencana. Lamaa sekali bagiku untuk berkontemplasi menjawab pertanyaan-pertanyaan “yakin win?”itu. dan justru pada tes wawancara, dan pertanyaan itu muncul dari pewawancara, inilah jawabanku…jawaban yang sebelumnya tak kunjung kutemukan:

“Insya Allah, karena saya ingin mengabdikan diri secara maksimal melalui bidang yang saya senangi dan pelajari”. Dan aku masih percaya dengan keyakinanku bahwa bekerja, berkarir, adalah sebuah pengabdian dan aktualisasi diri. Aku harus mengatakan bahwa : it has nothing to do with money. Aku hanya ingin berkarya dan mengabdi. Dan pada akhirnya, bekerja karena pengabdian akan mendapatkan bayaran yang lebih kekal, bagi orang-orang yang percaya.


II. Pelajaran penting: 4 x 33 = 132, bukan 120


Waktu itu aku sedang berdiskusi dengan orang berwibawa dan dia sedang menilai pula kewibawaanu (yaelah). Diskusi kami:

Orang yang berwibawa: “Kamu tau kah jumlah anggota DPD?”

Aku: “kurang yakin pastinya…tapi tiap provinsi itu ngirim 4 dan ada 33 provinsi..”

(aku mengakhiri jawabanku kyk gitu karena kufikir ya semua orang pasti udah tau lah hasil perkaliannya, dan tak kusangka orang tsb kembali bertanya..)

Orang yang berwibawa: “jadi jumlahnya berapa?”

Aku: (ya gampanglah batinku…) “ya sekitar 120an Pak”—jawabku sekenanya,dg nada2 anak social yang tidak telaten berhitung (well, dasar akunya aja ding).

Orang yang berwibawa: “hmm…jadi…4 dikali 33 itu sama dengan 132 ya….” (dengan senyum penuh kemenangan).


Dan aku hanya bisa berkata sangat manis dalam hati : yaa…maksudku juga begitu—walaupun sebenarnya masih heran juga karena menganggap kalau 120 dan 132 itu GAK BEDA JAUH!


III. Menyesal


Aku baru aja bikin kesalahan besar. Aku membatalkan janji dengan orang yang meyakini aku akan memenuhi janji itu. Sebenarnya janji itu batal karena ada kecelakaan yang tak terduga, tapi tetep aja, aku yang berkontribusi utama atas batalnya janji itu. Dan dia tidak marah. Dia tidak menyalahkan aku. Rasanya aku sekejap pengin hadir di hadapannya, supaya dia melihat wajahku yang menyesal telah mengacaukan semuanya. Dulu dia pernah bertanya padaku mengapa aku mempercayainya, dan aku tidak mau menjawab waktu itu. Sekarang, aku harus menjawab bahwa, salah satunya adalah, karena “dia menawarkan kedamaian yang selalu kurindukan”.




salam hangat dari metrojaya,

-wien-


ps: aku baru tahu kalau metrojaya itu kepanjangan dari Metropolitan Jakarta Raya..^^

Monday, October 12, 2009

Meyakini Jalan Kehidupan


Beberapa hari terakhir ini, aku berulangkali diberitahu adanya kecurangan di beberapa tempat yang tidak kuduga sehingga merugikan pihak-pihak yang tidak diajak berbuat curang.

Awalnya aku menganggap bahwa kecurangan tidaklah mungkin terjadi di tempat-tempat seperti itu. Toh teman-teman yang memberi tahuku itu juga tidak melihat dengan mata kepala sendiri, dan tidak mengalaminya sendiri. Mereka hanya : "katanya...", "biasanya...", "ya jelas lah gak perlu bukti lagi...". Tapi hati nuraniku berkata, aku harus jadi orang yang akademik, yang menentukan iya atau tidak karena bukti yang nyata (kata dosenku, bukan hanya asumsi, tp lengkap ditulis footnote nya, hehe).

Jadi, singkat cerita, aku tidak percaya semua itu di atas. Aku hanya mau meyakini bahwa setiap manusia pada dasarnya akan menjalani kehidupan berdasarkan apa yang dikatakan hati nurani. Dan pada akhirnya, kejujuran lah yang mampu memberi ketenangan yang kekal.

Haha, aku terlalu idealis ya?
Maafkan aku.

Tapi aku yakin, aku nggak sendirian. Aku percaya masih banyak orang di negeri ini yang memiliki harapan akan kejujuran sebagai dasar dalam segala kehidupan.

Dan aku akan bersama-sama mereka. Yang percaya bahwa episentrum kehidupan adalah konsistensi. Yakni, mereka yang secara konsisten meyakini bahwa kehidupan adalah pengabdian yang terus menerus. Oleh karenanya, kita harus memberikan yang terbaik, tanpa noda kecurangan sedikit pun. Ingatkah kau akan pepatah bahwa siapa yang menanam, dia akan mengetam?

Friday, October 2, 2009

Senja Utama

Malam itu, aku pulang ke Jogja dengan kereta Senja Utama dari Jakarta. Ketika tiba di Stasiun Senen, seorang temanku langsung bilang :"Bandingkan dengan keadaan di Stasiun Gambir, beda kan...?". Lepas dari perbedaan fisik seperti kebersihan dan keteraturan, hal pertama yang langsung kurasakan adalah tingginya tekanan hidup yang dialami orang-orang di sana.

Well, apa yang kemudian terjadi emang merefleksikan pikiranku. Beberapa meter dari situ, kami melihat seorang bapak, mungkin sekitar 35 tahunan, ia membuang berlembar2 uang seratus ribu dan lima puluh ribu ke arah badan seorang perempuan yang menggendong anak kecil. mungkin istrinya. entah apa yang mereka teriak-teriakkan. tetapi orang-orang di sekitar situ hanya melirik, tanpa ada yang mendekat dan melerai (termasuk aku). ho ya, what do I expect?! ada orang datang dan "ngaruhke" apa yang terjadi? (emang Lu pikir ini Godean!)

Di dalam kereta, aku memang sudah berniat untuk TIDUR! selain karena kurang tidur beberapa hari sebelumnya, juga karena sudah ada janji jam 7 pagi di Jogja.

Meski begitu, tidurku "terganggu" banyak hal,yang mungkin sebenarnya juga "mengganggu" banyak orang di kereta senja itu. Malam itu, aku malu pada peminta-minta dan pedagang kaki lima di sepanjang malam di kereta senja itu.

Awalnya kupikir, aku akan sangat terganggu dengan kehadiran mereka. Hingga berlagak seperti anak manja, aku berkali-kali menolak naik kereta senja karena takut. Tapi ketika pertama kali naik, aku SANGAT SALUT dengan kegigihan mereka menawarkan barang dagangannya, meladeni orang yang menawar barang dengan tetap lembut dan tidak ada nada emosi, serta kesungguhan hatinya mencari rejeki hingga larut sekali. di setiap stasiun yang kereta senja berhenti, pasti ada pedagang yang masuk, jam berapapun itu, dari jam 9 malem, 11, bahkan jam 1 dan jam 3 malem! dan kau tahu? mereka menjajakan dengan nada yang sama, tetap keras, tetap semangat, dan sungguh seolah memperlakukan bahwa kami--para penumpang kereta yang sering ngumpat2 mereka---adalah raja.....

Aku tak mau mengatakan bahwa mereka hanya bekerja untuk uang dan karena tuntutan ekonomi. motivasi itu pasti sangat picik dan terlalu kurang untuk menghadapi kerasnya berjuang mencari rejeki di kereta senja.

aku melihat bahwa ada semangat lain dalam mereka bekerja. awalanya aku mengira orang-orang seperti itu hanyalah orang yang pasrah, yang "yah mau gimana lagi", dan orang-orang yang tidak punya pilihan. tetapi semakin sering aku mengamati mereka, aku belajar banyak bahwa mungkin orang-orang seperti itu yang dinamakan "narimo ing pandum", yang menganggap pekerjaannya adalah ibadah, yang bersyukur atas kehidupan yang dimilikinya.

Mereka selalu senang melayani kami, senang ketika kami melirik ke arah dagangannya, dan langsung tersenyum ramah bahkan ketika kita baru menanyakan "apa itu?".

Setiba di Stastiun Tugu, aku dijemput ayah yang ternyata sudah menunggu satu jam. di jalan pulang kami berpapasan dengan tetangga kami yang bekerja sebagai polisi. Padahal waktu itu baru pukul 6 pagi. Ayahku kemudian bercerita kalau tetanggaku itu, sebagai polisi, sangat rajin dan disiplin. Kalau dia dapat jadwal jam 7 pagi, dia pasti sudah sampai kantor setengah jam sebelum jam7, walaupun katanya dia bisa saja datang jam 7 dari rumah dan tiba telat-telat sedikti. "Kenapa?" tanyaku. dan ayahku menajwab, "ya katanya itu bagian dari dia mensyukuri pekerjaannya".


ah aku malu seberapa kesyukuran yang sudah kulakukan dengan hidupku, dengan pekerjaanku.

Kereta senja, semoga keteduhan dan kelapangan jiwa selalu memberi cahaya bagi orang-orang yang berjuang di dalamnya.
 
Copyright 2010 Wien Wien Solution. Powered by Blogger
Blogger Templates created by DeluxeTemplates.net
Wordpress by Wpthemescreator
Blogger Showcase